Amangkurat Pujono

April 6, 2011 at 12:07 pm Leave a comment


PUJONO atau Mas Pujo dikenal sebagai pemain ketoprak lumayan tersohor. Kami mencarinya di dusun kediamannya di daerah Ngablak di lereng Gunung Merbabu ketika bos atau juragan kami yang mengelola pekan raya di ibu kota provinsi, berkeinginan menghadirkan pertunjukan ketoprak di pekan raya yang bakal berlangsung sebulan penuh, bulan depan. Sudah tak banyak rombongan kesenian rakyat masih tersisa, bahkan sepengetahuan kami berikut orang-orang yang kami tanyai, hanya rombongan ketoprak pimpinan Mas Pujo-lah yang masih aktif. Menurut beberapa orang, rombongan ketoprak itu, Langen Redi Budoyo, masih sering terlihat membuka tobong atau tempat pertunjukan di kota-kota kecil. Ada yang bilang, terakhir Langen Redi Budoyo terlihat di Bawang, sebuah kota kecamatan di dekat Weleri. Namun, ketika kami cari ke situ, sudah tak terlihat jejak rombongan kesenian rakyat itu. Orang-orang setempat mengatakan mereka telah cabut sekitar seminggu lalu. Itulah yang menyebabkan kami kemudian mencari Mas Pujo dan Langen Redi Budoyo-nya di Ngablak–daerah yang menurut informasi yang kami terima merupakan desa tempat asal rombongan kesenian rakyat tersebut.

Tak sulit mencari Mas Pujo di daerah asalnya. Sejak daerah wisata Kopeng, pedagang bunga dan sayur-sayuran sudah bisa menunjukkan di mana Mas Pujo tinggal. “Oh, Pujo ketoprak. Rumahnya di Ngablak…,” kata pedagang bunga yang kami tanyai tempat tinggal Mas Pujo. Seorang tukang parkir mendekat. “Nggoleki sopo?” tanyanya. “Ooo Pujono. Ya, di sana, Ngablak. Naik lagi, sekitar setengah jam dari sini,” sambung tukang parkir itu dengan bahasa Indonesia medok Jawa, menunjuk jalan raya yang menanjak menuju daerah yang disebutnya Ngablak tadi.

Kabut datang bergulung-gulung. Bau asap tembakau yang dicampur remukan kemenyan tercium di mana-mana. Orang-orang di desa di kaki gunung ini memang terbiasa mengisap tembakau yang selain dicampur cengkih biasanya juga dicampur dengan kemenyan.

***

SISA-SISA kejayaan hidup seniman panggung masih terlihat di kediamannya. Ada jalan menurun yang dikeraskan dengan semen sebelum sampai ke tempat tinggalnya. Tempat ini seperti sanggar, dengan pekarangan amat luas. Selain rumah berdinding papan yang merupakan rumah utama, terdapat pendopo desa, di mana tampaknya para anggota Langen Redi Budoyo biasa berkumpul dan latihan. Di pendopo itu terlihat banyak perlengkapan panggung, dari gamelan, dekorasi, sampai properti semacam senjata berupa tombak, pedang, yang semua terbuat dari kayu.

“Monggo, monggo…,” suara Mas Pujo menggema mempersilakan kami masuk rumahnya.

Kami berdua, utusan bos pekan raya, memilih bisa diterima di pendopo saja, yang suasananya lebih terbuka. Dari situ terlihat lingkungan daerah gunung yang asri. Lembah dengan pohon-pohon cemara terlihat di kejauhan. Sementara di sekeliling sanggar Mas Pujo, tampak bunga-bunga seperti kenaka, kembang sepatu, yang meski tidak terlalu terawat tetap berbunga besar-besar.

Tak ada kursi di pendopo. Kami duduk di tikar. Mas Pujo segera bersila dengan sikap sempurna–punggung tegak, pundak rata–ketika menemui kami setelah sebelumnya sempat masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian. Dia berucap, memang sudah sekitar seminggu rombongan ketopraknya prei atau libur.

Seketika matanya berbinar-binar ketika mendengar bahwa maksud kedatangan kami adalah untuk mengundang dia dan rombongan ketopraknya untuk bermain di pekan raya selama sebulan penuh bulan depan.

“Hanya saja, pertunjukan ini sifatnya lain dari biasanya Mas. Pekan raya hanya berlangsung sampai pukul sepuluh malam. Pertunjukan paling bisa berlangsung selama dua jam, sehingga Mas Pujo harus memilih lakon-lakon sederhana. Dekorasi panggung pun harus bersahaja, karena panggungnya kecil. Sifat pertunjukan ini hanya untuk mengenalkan kepada para pengunjung pekan raya akan kesenian rakyat kita yang masih tersisa,” kataku menerangkan, agar dia tak terlalu bersemangat membawa semua perangkat panggungnya yang kubayangkan akan sulit bisa diterapkan di panggung pekan raya. “Dekor juga cukup sederhana saja, tidak bisa memakai layar-layar panggung seperti yang biasa Mas Pujo lakukan,” tambahku.

“Bisa, bisa…,” katanya penuh semangat. “Nanti akan saya bawakan lakon Amangkurat Wuyung. Kanjeng Sunan Amangkurat waktu itu mencari garwo, dan beliau mendengar dari Pangeran Purboyo, bahwa dalang dari Blitar, Ki Wayah, punya putri cantik jelita bernama Ni Sekar.”

“Soal lakon kami serahkan penuh kepada Mas Pujo. Yang penting Mas Pujo bisa memperhitungkan bagaimana pertunjukan yang bakal berlangsung selama tiga puluh hari itu bisa terus-menerus menarik setiap malam. Kami juga ingin tahu berapa orang yang akan Mas Pujo bawa, dan bagaimana kami harus menanggung mereka semua,” aku menyela.

“Amangkurat ini adalah pengganti Sultan Agung. Cerita Amangkurat yang juga disebut sebagai Sunan Tegalwangi ini adalah cerita paling menarik dalam sejarah Mataram,” ucap Mas Pujo. Dia sepertinya tidak mendengar kata-kataku.

Aku mengingatkannya lagi, tentang sifat pertunjukan yang berlangsung di tengah berbagai acara lain ini, yang sebagian besar merupakan pameran barang-barang kerajinan. Dengan demikian, pengunjung yang datang bukanlah melulu penonton ketoprak. Kataku, “Karena itu, Mas Pujo membawakan lakon-lakon yang sederhana saja setiap malam. Kalau bisa yang banyak dagelannya. Penonton yang sifatnya melihat sambil lalu akan lebih suka kalau banyak dagelannya, banyak humornya.”

“Nanti saya sendiri yang akan menjadi Amangkurat atau Sunan Tegalwangi. Beliau itu penguasa yang bengis. Kalau tertawa suaranya mengguntur: hua-ha-ha…,” Mas Pujo berucap sambil menirukan tawa Sunan Amangkurat. Suaranya menggema memecah keheningan senja.

“Siapa yang akan jadi Sunan Amangkurat kami tak peduli. Yang kami kehendaki Mas Pujo menghitung biaya operasional sehari-hari, sehingga kami bisa melaporkan kepada atasan kami dan memperhitungkan anggaran,” ucapku mulai kurang sabar.

“Nanti panjenengan akan lihat sendiri kalau saya jadi Amangkurat. Gigi Amangkurat hitam-hitam, karena selalu mengunyah kinang. Kalau tertawa seperti tadi: hua-ha-ha…,” Mas Pujo memperdengarkan tawanya lagi. “Duduknya begini,” kata dia, sembari memperbaiki posisi duduk bersilanya, seolah sedang duduk di singgasana.

“Mas Pujo…” aku berusaha mengingatkannya.

“Ya…” jawabnya. Nada bicaranya seperti seorang raja menerima laporan bawahan. “Sunan Amangkurat menitahkan Pangeran Purboyo untuk memboyong putri Ki Wayah untuk dibawa ke Mataram, untuk dihaturkan di hadapannya.”

Aku menengok temanku. Dia cuma mengangkat bahu. Kami sama-sama tak tahu, bagaimana meluruskan Mas Pujo, bahwa yang hendak kami bicarakan ini adalah soal bisnis, bukan soal Amangkurat mencari istri.

“Tahi kucing dengan urusan Amangkurat mencari istri,” secara sambil lalu aku mengucapkan kata-kata kurang ajar.

“Hua-ha-ha…,” Mas Pujo lagi-lagi tertawa. “Cerita ini benar-benar terjadi di zaman Mataram,” katanya sambil menuding-nudingkan jarinya. “Seperti tersebut dalam Serat Babad Tanah Djawi, di situ disebutkan, Kacariyos, Ki Wayah agadah anak estri satunggil, sakalangkung ayu, namun sampun gadah bojo. Anunten bojonipun tiyang istri wau, andikakaken mejahi….Jadi wanita ayu itu punya suami. Amangkurat menitahkan, supaya suaminya dibunuh saja. Ngek…. Nah, ramai kan? Karena Sunan Amangkurat menghendaki, tidak peduli si perempuan sudah bersuami, ya tetap diambil begitu saja. Cocok kan dengan keadaan sekarang?” ucapnya kepadaku.

“Peduli setan!” ucapku dalam hati. Tak kujawab pertanyaannya. Aku melirik temanku. “Kami permisi, mohon pamit Mas Pujo….” kataku.

“Lhoh, tunggu dulu. Panjenengan harus tahu, bagaimana nantinya Sunan Amangkurat benar-benar jatuh cinta pada wanita itu. Setelah diperistri, wanita itu diberinya nama Ratu Wetan. Ratu Wetan menjadi istri yang paling dicintai Sunan di antara istri-istrinya yang lain. Sebaliknya, karena duka lara ditinggal mati suaminya yang dibunuh Sunan, Ratu Wetan terus-menerus menangis setiap malam, sampai akhirnya jatuh sakit….”

Kami berdua berdiri, bersiap meninggalkan pendopo. Tak ada gunanya menanggapi orang ini.

Sedangkan Mas Pujo makin menjadi-jadi. Dia tampaknya makin terbayang-bayang akan kecantikan Ratu Wetan-nya. “Ratu Wetan jatuh sakit, dan akhirnya meninggal. Sunan Amangkurat tidak membiarkan liang lahat kuburan Ratu Wetan ditutup. Bahkan di liang lahat itu mayat Ratu Wetan disetubuhinya. Edan, ini benar-benar cerita edan,” Mas Pujo berucap, entah ditujukan kepada siapa.

“Edan, memang edan…” kataku, di ambang meninggalkan kediamannya.

“Edan kan? Nah, bagaimana kalau itu kami bawakan nanti?” tanya Mas Pujo.

“Silakan saja. Kalau Mas Pujo sudah menghitung biaya untuk tampil dan lain-lainnya, silakan hubungi kami di Hotel Sriti. Kami menginap di situ sampai besok pagi,” kataku sembari minta diri.

“Ooh, menginap di Hotel Sriti? Baik, nanti saya akan temui panjenengan…” katanya.

***

SAUDARA-SAUDARA, ada satu hal yang sempat aku pertimbangkan beberapa kali, sebelum berkeputusan menceritakan kelanjutan pengalaman bertemu Mas Pujo tadi. Baiklah. Begini ceritanya. Tak berapa lama setelah kami tiba di hotel petang itu, telepon di kamarku berdering. Waktu itu aku baru saja habis mandi dan berganti pakaian. Petugas hotel memberi tahuku, seorang tamu, namanya Pujono, menunggu di depan.

“Hah, dia menyusul? Mau apa dia?” pikirku.

Segera aku keluar untuk menemuinya. Di ruang tamu hotel sederhana ini, terlihat Mas Pujo. Ia duduk bersila di kursi panjang. Di hotel ini pun, jangan-jangan dia berpikir sebagai Amangkurat….

“Hua-ha-ha…” ia tertawa menyambutku.

Aku bersiap-siap untuk berhadapan dengan Sunan Amangkurat lagi. “Mas sudah putuskan semuanya? Kita langsung bicara soal bisnis saja, tidak usah membicarakan lakon segala. Sudah cukup bicara soal Amangkurat,” kataku tegas, karena aku tidak ingin malamku di hotel ini bakal tersia-sia.

“Ha-ha-ha…” dia tertawa lagi. Kemudian didekatkannya mukanya kepadaku. Dia ingin bicara pelan-pelan rupanya. “Sssttt…,” bisiknya memberi isyarat. “Mas butuh teman tidur? Yang saya ceritakan tadi, si Ratu Wetan, saya bawa ke sini. Dia bisa jadi teman tidur,” lanjutnya dengan suara berbisik.

“Hah?” aku yang terperangah. Amangkurat Pujono ini serba tak terduga.

“Dia menunggu di luar. Mas tunggu di sini. Akan saya bawa kemari…” ucapnya sembari berdiri, tanpa memberiku kesempatan untuk menimbang-nimbang sama sekali.

Tak berapa lama kemudian, dia masuk bersama seorang wanita. Aku merasa dia bawa dari satu keterpanaan ke keterpanaan. Wanita ini cantik, meski sudah tidak muda lagi. Usianya dugaanku tiga puluhan, atau bahkan menjelang empat puluh. Ada beberapa helai rambutnya yang kelihatan mulai memutih. Inikah Ratu Wetan….

Rombongan ketoprak Mas Pujo akhirnya jadi main, mengisi acara di pekan raya. Pertunjukannya tak istimewa, bahkan boleh dikata gagal. Mereka tak pernah berhasil menarik penonton seperti diharapkan.

Dari situ aku berkesimpulan, tontonan ini memang sudah masanya gulung tikar. Kalau toh ada yang masih bisa dikenang dari “laskar terakhir” kesenian rakyat ini, hanyalah si Ratu Wetan, wanita cantik, yang entah sudah berapa lelaki menidurinya….

Jakarta, Mei 2004

Entry filed under: Bre Redana.

Mbak Bapak Meninggal

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Categories